Kontekstualiasi Dasar-Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Ladang Ilmu
0

1.    Nilai – Nilai Luhur Ajaran Ki Hajar Dewantara

      Meski lama mengenyam pendidikan Barat, namun Ki Hajar Dewantara tetap mampu mengapresiasi budaya luhur bangsanya. Nilai-nilai luhur Ki Hajar Dewantara sebagaimana yang tersurat dalam karya-karya cukup beragam bersifat saling melengkapi. Berikut nilai-nilai luhur ajaran Ki Hajar Dewantara:


  • Ko-edukasi dan ko-instruksi, dalam mendidik dan mengajar anak laki-laki dan perempuan meskipun masih satu keluarga tetap ada adat kesopanan yang harus diterapkan.
  • Momong, among, dan ngemong, Momong artinya mengasuh, membimbing dan menjaga supaya selamat berkembang dan tumbuh sesuai denga harapan.
  • Azas Tri-kon meliputi kontinuitet, yang berarti bahwa garis hidup di zaman sekarang harus merupakan “lanjutan atau terusan” dari hidup di zaman yang silam; jangan “ulangan atau pun tiruan” hidup bangsa lain.
  • Trihayu (memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, memayu hayuning bawana). Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa apa pun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan bermanfaat bagi manusia di seluruh dunia.
  • Tripantang (harta, praja, wanita). Konsepsi Tripantang maksudnya dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (korupsi), menyalahgunakan jabatan (missal kolusi), dan bermain wanita (missal selingkuh). Ketiga pantangan inihendaknya tidak dilanggar.
  • Tritep, yakni tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep danantep itu sudah ada, maka mantep itu datang juga, yakni tiada dapat diundurkan lagi.
  • Ngandel, kandel, kendel, dan bandel adalah nilai-nilai luhur ajaran Ki Hajar Dewantara yang kesepuluh. Ngandel artinya percaya akan pendirian yang teguh, maka kandel (berani) dan bandel (tidak lekas takut; tawakal) akan menyusul sendiri.

2.    Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara

        Pada hakikatnya, pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara lahir karena rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Pada setiap pergerakan kebangsaan yang dilakukan beliau selalu terdapat buah pikiran beliau tentang persamaan derajat, pendidikan untuk si rakyat jelata, kemerdekaan lahir dan batin, berani dan bijaksana, mawas diri dan percaya akan kemampuan sendiri. Hal ini dilatar belakangi pemahaman yang kuat tentang keadaan dan sifat kolonialisme yang tidak akan hilang, jika hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Oleh karena itu perlawan tidak hanya dari luar saja, akan tetapi juga penting menyebarkan benih hidup merdeka di kalangan rakyat sendiri dengan jalan pengajaran, yang disertai pendidikan nasional.

        Berikut merupakan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dapat dijadikan filsafat pendidikan tanah air bangsa:

  • Pendidikan Karakter

    Pendidikan karakter menumbuhkan jiwa yang baik pada diri tiap individu karena pembentukan karakter akan menghasilkan sebuah generasi yang baik dalam mencapai keutuhan diri dalam hubungan individu dengan Tuhan dan juga manusia. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan. Artinya, pengajaran ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah untuk hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
    Citra seseorang yang memiliki kecerdasan budi pekerti (watak atau pikiran), menurut Ki Hajar Dewantara adalah orang yang senantiasa memikir-mikirnya, merasa rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas dan terpuji terhadap sesama dan lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatujualah gerak, pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauannya, yang lalu menimbulkan tenaga padanya (untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya).Dengan demikian, pendidikan yang mencerdaskan budi pekerti itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti menutupi, mengurangi tabiat-tabiat jahat yang tak dapat dilenyapkan sama sekali (tabiat biologis) karena sudah bersatu dengan jiwanya. 
    Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin, yang sifatnya ada tiga macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri). Konsepsi pendidikan demikian yang mendasari penilaian Ki Hajar Dewantara bahwa, dasar pendidikan Barat (pendidikan model penjajahan Belanda) tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena bersifat perintah, hukuman dan, ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini, menurut Ki Hajar  Dewantara  dalam  prakteknya  merupakan  suatu  pemaksaan  atas  kehidupan  batin  anak-anak.
    Akibatnya, anak-anak rusak budi pekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan/tekanan. Menurut Ki Hajar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membetuk seseorang hingga memiliki “kepribadian” yang berbudi pekerti. Corak dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal.  Bangsa Indonesia yang terdiridari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. 
    Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya perbedaan. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional. Pada awalnya muncul dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri. Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini diyakini benar oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa. 
    Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu: memberi contoh; pembiasaan; pengajaran; laku; pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa). Cara pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk membangun karakter anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan pembiasaan sangatlah tepat untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Perguruan taman siswa merupakan perguruan yang mengangkat sistem budaya nasional dan meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Dengan mengelaborasi kekayaan kebudayaan nasional, maka nilai budaya daerah dan nasional tidak akan pernah luntur dalam kehidupan masyarakatnya. Permainan anak, lagu-lagu daerah, kesenian khas daerah merupakan kekakayaan nasional yang dijunjung tinggi dan dipelajari dalam lembaga ini. 

    Dengan upaya yang telah dilakukannya, pantaslah negara ini memberikan tempat yang tinggi dan terhormat bagi tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mengelaborasi budaya bangsa Indonesia sebagai landasan dari sistem pendidikannya.

  • Tri Pusat Pendidikan

    Melalui pembaharuan terhadap model pawiyetan (pesantren) yang diproyeksikan sebagai sistem nasional dan berorientasi pada nilai budaya, kebangsaan, dan kerakyatan, lahirlah Taman Siswa. Dalam model ini, mencakup tiga wilayah pendidikan yang dikenal dengan “Tripusat Pendidikan”. 
    Tripusat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah, “di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda”. Hal ini yang kemudian dikenal sebagai tripusat pendidikan atau trilogi pendidikan. Trilogi pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara adalah bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motorpembentukan karakter dan mentalitas anak. Tiga unsur di atas memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam membentuk karakter yang ada pada diri seorang anak.  
    Pertama, pendidikan informal atau pendidikan keluarga sangatlah penting untuk membentuk kepribadian anak. Karena menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa rasa cinta, rasa bersatu, perasaan dan keadaan jiwa yang sangat bermanfaat pada proses pendidikan, terutama pada pendidikan karakter yaitu terdapat pada hidup dalam keluarga yang sifatnya kuat dan murni yang tidak akan sama dengan pendidikan yang ada di tempat lain. Sehingga pendidikan dalam keluarga harusnya mampu menjadi pondasi yang kuat yang ada dalam diri anak dalam kehidupan yang akan dilaluinya kelak. Menurut Hadi Sutrisno dalam Moh. Yamin, “membina anak merupakan salah satu tugas yang menggereja. Pendidikan di dalam keluarga menjadi suatu hal yang penting dan pokok, sementara di sekolah pendidikan hanya sebagai tambahan karena pendidikan di sekolah hanya berlangsung beberapa jam saja”. Sehingga, peran keluarga begitu vital dalam perkembangan anak. Di dalam ajaran Islam, terdapat banyak hadis-hadis Nabi tentang pentingnya memberikan pendidikan akhlak bagi anak dalam kelurga. Peran anggota keluarga sangat dibutuhkan, terutama ayah dan ibu dalam membantu tumbuh kembang anak ke arah yang positif.
    Kedua, alam perguruan merupakan pusat perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan. 
    Ketiga, alam pemuda atau  alam  kemasyarakatan  merupakan  wadah  pemuda  untuk  beraktivitas  dan  beraktualisasi  diri mengembangka potensi dirinya. Beberapa hal yang menarik tentang keterangan Ki Hadjar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan yaitu: a) Tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja; b) Ketiga pusat pendidikan tersebut harus berhubungan seakrab-akrabnya; c) Bahwa alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan memberikan pendidikan budipekerti, agama dan laku sosial; d) Bahwa perguruan sebagai balaiwiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan keterampilan; e) Bahwa alam pemuda (yang sekarang diperluas menjadi lingkungan/ alam kemasyarakatan) sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak atau karakter dan kepribadiannya; f) Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara ialah usaha untuk menghidupkan, menambah dan memberikan perasaan kesosialan sang anak.

    Pandangan yang demikian ini, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Justru beliau memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengetahui kewajiban masing-masing, dan mengakui hak pusat-pusat lainnya yaitu: alasan keluarga untuk mendidik budi pekerti dan laku sosial. Alam sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa secara seimbang. Sedangkan alasan pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasaan diri dalam pembentukan watak atau karakter.

  • Trilogi Kepemimpinan

    Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang populer di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang pemimpn harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya. 
    Ing Ngarso Sun Tulodo memiliki makna menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri teladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sebagai seorang pemimpin harus memiliki sikap dan perilaku yang baik di segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagianak buahnya atau bawahannya. 
    Ing Madyo Mangun Karso memiliki makna bahwa seorang pemimpin di tengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Oleh karenanya, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi di lingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif dan dinamis untuk keamanan serta kenyamanan kerja. 
    Demikian pula dengan Tut Wuri Handayani yang artinya memberikan doronganmoral atau dorongan semangat, sehingga seorang pemimpin harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Secara tersirat berarti seorang figur pemimpin yang baik adalah yang tidak hanya dapat menjadi suri tauladan atau panutan bagi bawahan, tetapi juga harus mampu  menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar bawahan bisa melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya secara utuh dan bukan paksaan, atau bukan karena mendapatkan tekanan maupun ancaman tertentu dari atasan.Sama halnya ketika konsep tersebut dimasukkan dalam dunia pendidikan sebagaimana yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara. 
    Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah Tut Wuri Handayani. Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya yakni, Ing Ngarsa Sun Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Namun, ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam masyarakat umum.Arti ketiga semboyan tersebut secara lengkap adalah Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakanprakarsa dan ide), dan Ing Ngarsa Sun Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). 
    Ki Hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak didik mencari jalan sendiri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun. Kemajuan anak didik, dengan membiarkan hal seperti itu, akan menjadi sebuah kemajuan sejati dan hakiki. Namun, kendatipun begitu, membiarkan mereka berjalan sendiri, bukan berarti tidak diperhatikan atau dipedulikan, pendidik harus mengawasi kemanakah mereka akan menempuh jalan. Pendidik hanya mengamati, memberi teguran, maupun arahan ketika mereka mengambil jalan yang salah dan keliru. 

    Oleh karena itu, dengan menggunakan gagasan Ki Hadjar Dewantara, seorang pendidik harus mencerminkan sosok yang disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya.Seorang pendidik harus memiliki sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh anak didiknya dengan sedemikian rupa dikemudian hari kelak, baik di lingkungan sekolah, keluarganya, maupun masyarakatnya. Pendidikan diharapkan menjadi sesuatu yang mampu mengubahkarakter anak didik dari nakal menjadi lemah lembut dan penuh kesantunan tinggi. Perilaku seorang didik di ruangan kelas pun harus menampilkan sikap diri yang betul-betul membawa kebaikan perilaku sehari-hari bagi kehidupan anak-anak didiknya. Baik dan buruknya perilaku seorang anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan pengajaran dalam melakukan interaksi sosial baik dalam kelas di sekolah, maupun masyarakat serta keluarganya.




Daftar Rujukan

Hadjar Dewantara. 2004. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Ki Hajar Dewantara. 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Mendikbud RI. “Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19),” 2020, 1–3.

Moh Yamin. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia “Belajar Dari Paulo Freire Dan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Muhammad Rifa’i. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klaasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Muhammad Thobroni & Ali Mustofa. 2013. Belajar Dan Pembelajaran “Pengembangan Wacana Dan Praktik Pembelajaran Dalam Pembangunan Nasional”. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Nurkholida, Erna. 2018. “PERSPEKTIF JAWA (Studi Pemikiran Ki Hajar Dewantara).” Jurnal Cendekia16, no. 2 (2018): 393–407.

Samho Bartolomeus. 2013. Visi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: Kanisius.

Suwahyu, Irwansyah. 2019. “Pendidikan Karakter Dalam Konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara.” INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan23, no.2 (2019): 192–204. https://doi.org/10.24090/insania.v23i2.2290.

Warsito, Ronggo, and Sahid Teguh Widodo. 2018. “Implementasi Nilai-Nilai Luhur Ajaran Ki Hajar Dewantara Dalam Perkuliahan Pendidikan Pancasila Untuk Mengembangkan Karakter Mahasiswa.” PKn Progresif: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Kewarganegaraan 13, no. 1 (2018): 1. https://doi.org/10.20961/pknp.v13i1.22448.

Wiryopranoto, Suhartono, Nina Herlina, Djoko Marhandono, and Yuda B.2017. Tangkilisan. Ki Hajar Dewantara Pemikiran Dan Perjuangannya.


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)